Tugas Makalah Penggelapan Pajak
BAB
I
ANALISIS DAN PEMBAHASAN MASALAH
DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
A.
Sekilas Tentang
Penggelapan Pajak
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga
wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan
suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan,
maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh
negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi
negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan
mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal
mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk
menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan
cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus
penggelapan pajak :
a. Melaporkan
penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan
dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
b. Menggelembungkan
biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
c.
Transaksi
export fiktif,
d. Pemalsuan
dokumen keuangan perusahaan
Jika
dianalogikan pajak dengan karcis tol, Jika melewati jalan tol namun
tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita
menghindari untuk membayar karcis tol
dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak.
Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara
yang legal.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat
berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar
jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara
keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar
sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan
jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan
tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Selain menghindari transaksi yang
merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan
oleh perusahaan antara lain :
a.
Memilih Bentuk
usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
b.
Memaksimalkan
biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan.
c.
Memilih
berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
d.
Memaksimalkan
kredit pajak yang telah dibayar.
Selain wajib membayar pajak atas penghasilan
yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang
terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada
karyawan maupun kepada pihak ketiga. Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada
karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang.
Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.
Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga,
atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23
yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh
pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3, (vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan
(biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang
akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan
menyetorkannya ke kas negara.
Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak
selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan
vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan
diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa
‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti
ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus
dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang
perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan
dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan
perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih
untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban
pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.
Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan
adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah
perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih setelah pajak yang
tinggi. Laba bersih yang tinggi tentu
diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan
pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal,
sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal. Ketika penjualan
mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi, maka secara
ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”. Demikian pula ketika laba bersih –secara
komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian
target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan
menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak
seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non
deductable expenses.
B.
DUGAAN
PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi
sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT
Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia
ini sedang pusing lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun.
LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi
Rp11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode
2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan
penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin
Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007
itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu
Polda Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan pajak Arutmin.
Koordinator Monitoring dan Analisa
Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan utang perusahaan tambang
milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah data-data primer seperti
laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada pemegang saham, data produksi
serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami dapat dari hasil audit
BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan
yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil
Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi,
angka itu belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu
AS$608,178 juta.
Kedua, emiten berkode saham BUMI
itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang jumlahnya mencapai AS$477,299
juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara mencapai AS$1,228 miliar.
Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI mencapai Rp11,426
triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil dan
memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan BUMI. Selain
itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu
Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini, bisa diketahui berbagai hal yang mempengaruhi
penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak
sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen
Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan
pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo
menegaskan, jika ingin penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar
kewajiban lima kali lipat dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400
persen. Kalau ditambah pokok tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi
kewajibannya, ada prosedur lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin
penyidikan kasus ini dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu,
kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah
ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang
Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk
Kepentingan Penerimaan Negara.
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus
2009 itu menyatakan, proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan
dapat dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi
pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan
serta setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari
pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat
menghentikan penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam
bulan sejak tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen
Pajak diminta Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan.
Surat yang diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi
pengakuan bersalah dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.
Ditjen
Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan nilai
kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan,
penyidik menemukan komponen biaya pada
PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya,
sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah
satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri, nilainya bisa mencapai ratusan miliar
rupiah. Komponen biaya merupakan salah
satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka
penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan ketentuan
perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.
Saat
meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen biaya apa saja yang dimaksud,
dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan
Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika dikonfirmasi enggan
berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan ketiga kasus tersebut. Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus melaksanakan
proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun tersangka.
Direktorat
Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan
Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia.
Ketiganya diduga menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak
2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan
penyidikan sementara untuk Arutmin masih dalam proses pemeriksaan bukti
permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan tersebut, mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak
mengalami kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi
yang kami dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.”
Menurut dia, pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang
bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan
penyidik pajak dengan alasan sedang sakit.
“Kami sudah panggil sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua
kali. Kalau juga tak dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,”
tegasnya.
Dengan
adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa sebagai perusahaan yang telah Go
Publik masih adanya indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih
belum menerapkan prinsip-prinsip good corporat governance, walaupun masih
sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi negative telah mengarah kesana. Untuk bisa
memastikannya lebih jauh maka harus dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi
untuk dampak sementara akibat adanya dugaan ini, investor sudah mulai ragu
untuk menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance
setiap informasi yang hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari
manipulasi dan hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate
governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang
pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk
investor.
C. UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK
Pajak adalah salah satu tiang yang sangat
penting bagi perekonomian di sebuah Negara. Tanpa pajak, Negara tidak mampu
membiayai pembangunan. Tanpa pajak pula, pemerintah mustahil bisa menggaji para
pegawai dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, pemerintah harus sangat
serius dalam menindak para pengemplang pajak. Tapi, apa buktinya, premis itu
jauh lebih gampang diucapkan dari pada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap
gagal menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.
Munculnya kembali kasus dugaan pengemplangan
pajak yang dilakukan oleh kelompok usaha Bakrie, menambah bukti yang kuat
betapa sulitnya bertindak tegas terhadap wajib pajak (WP) ukuran besar. Yang
cenderung terjadi adalah pemeerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap
mereka. Tersebutlah 3 perusahaan group Bakrie yang dilaporkan telah lalai
membayar pajak sebesar Rp 2,1 Triliun. Perusahaan itu adalah PT.Bumi Resource,
PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. PT Bumi menunggak pajak
sebesar Rp 376 Milyar, KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT Arutmin senilai 300
Milyar.
Kasus tentang itu sebenarnya telah muncul tahun
lalu terkait dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah
tidak tegas menyelesaikan kasus itu, sehingga kini muncul kembali dengan
persoalan yang lebih kompleks karena urusan pajak itu di kait-kaitkan dengan
kasus Bank Century, yang ditenggarai mempengaruhi sikap golkar yang kini
dipimpin Aburizal Bakrie. Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan
group Bakrie dalam kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak
sebesar 2,1 Triliun itu adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media
Indonesia) Anak perusahaan group Bakrie itu terancam membayar denda tunggakan
pajak sebesar 4 kali lipat dari nilai pokok tunggakan / diwajibkan membayar sebesar
10,5 Triliun.
Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan
korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat.
Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib
pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal tersebut seharusnya segera
dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian Negara. Diharapkan pemerintah
segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi pidana pajak yang
tegas.
Hukum merupakan cermin yang
memantulkan kepentingan masyaraat. Karena kepentingan masyarakat selalu
berubah, maka secara operasional hukum juga dituntut untuk selalu mengubah
dirinya. Dewasa ini, dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa disintegrated.
Disatu satu pihak, tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan
hukum adat, bahkan hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang
telah usang. Dan dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga
terbentuk. Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui, ditambah dengan
sector pengetahuan ekonomi yang semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah
distorsi kedalam sektor bisnis dan ekonomi itu sendiri.
Konsekuensi logisnya, tidak terlalu
mengherankan jika dewasa ini sangat merajalela terjadinya praktek bisnis yang tidak
fair. Seperti persaingan curang, monopoli, ologopoli, kartel, pemberian
fasilitas dan akumulasi sumber daya ekonomi di tangan satu atau dua
konglomerat, bisnis dan perizinan yang dilandasi pada koneksi, suap menyuap dan
lobi yang kental, birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit dan termasuk juga
adanya dugaan skandal penggelapan pajak yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan dibawah naungan Bakri Group. Hal ini menandakan hukum
bisnis tidak berperan, baik karena kevakuman, kebobrokan atau ketidak jelasan
aturan main, atau karena Law Enforcement nya yang kurang sigap kalaupun
tidak dibilang lumpuh total.
Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan
berhadapan dengan sanksi hukum sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran.
Upaya untuk melakukan penegakan hukum harus berlangsung secara konsisten dengan
tetap memperhatikan kepentingan perkembangan Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memiliki
kewenangan yang sangat besar untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan
pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu menjalankan fungsinya
sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.
Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan
secara represif, Bapepam diberi kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan penyidikan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang tata cara pemeriksaan di Pasar Modal. Dalam rangka itulah maka sesuai
dengan amanah yang digariskan dalam Undang-Undang Pasar Modal, bahwa dalam
rangka menyempurnakan pengaturan pasar modal telah dikeluarkan serangkaian
peraturan yang memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para pelaku pasar
modal.
Mengenai tingkat kesalahan yang disyaratkan
adalah berupa “kesengajaan”(mengetahui), dan “kelalaian” (kurang hati-hati).
Ini berarti sebagai General Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang
terlibat di pasar modal dapat dimintakan pertanggung jawab hukum, apabila
padanya terdapat unsur kesalahan.
Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud
kejahatan dan pelanggaran, sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab
tersebut berasal dari perbuatan melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau
malpraktek, maka wujudnya dapat berupa perbuatan dengan unsur kesengajaan (on
purpose), atau kurang hati-hati (negligence). Jika perbuatan tersebut bersumber
dari suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan tersebut akan
berwujud ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam
bentuk kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode
etik profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi
administrasi.
Bersalah tidaknya para pelaku di
Perusahaan-perusahaan bakri Group juga dapat dikukur dengan kriteria dalam
bidang apakah akibat dari kesalahan itu terjadi. Kalau terjadi kekeliruan dalam
bidang keuangan, maka akuntan public ikut bertanggung jawab, dan kalau dalam
bidang hukum, konsultan hukumnya dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung
jawab profesi penunjang juga terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai
tanggung jawab “berasumsi” atau tanggung jawab “di atas kertas”. Artinya,
tanggung jawab mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag
tersedia adalah benar. Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak
benar isinya atau palsu sehingga analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal
tersebut berada diluar tanggung jawab mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah
yang lebih bertanggung jawab.
Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung
jawab yang berat, mengingat dialah yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi
saham, dan dia pulalah yang memegang komando dan menentukan policy. Disamping
itu, Bapepam, sebagai badan pengawas juga tidak bisa dilepaskan tanggung jawab
hukumnya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa yang bersalah harus dihukum.
Kalau Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan atau keteledoran,
maka tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung jawabnya,
sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang berbunyi
Bapepam tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.
Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan
oleh Pemerintah dan masyarakat agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan
bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan
wahana untuk timbulnya kepercayaan kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar
modal mampu mengembangkan perekonomian Indonesia adalah kejahatan di pasar
modal khususnya penggelapan pajak harus dapat ditemukan dan diselesaikan
melalui hukum yang berlaku baik itu kebiasaan maupun karena telah diatur dalam
aturan di pasar modal.
Walaupun media sedang gencar-gencarnya
memberitakan skandal penggelapan dana pajak yang paling besar dalam sejarah
yang ada, namun perlawanan dari pihak Bakri Group terhadap hal tersebut tetap
ada, yakni upaya PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menghentikan penyidikan yang
dilakukan Ditjen Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta Selatan menyatakan
permohonan praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal sidang
praperadilan Prasetyo tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk
obyek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Dirjen
Pajak dan Departemen Keuangan harus segera menyelesaikan kasus dugaan
penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu 2003-2008 oleh PT Bumi
Resources Tbk. Jika berlarut-larut justru menimbulkan kecurigaan proses
penyelesaiannya telah disusupi oleh mafia hukum. Selain itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus
aktif melakukan penyelidikan dugaan penggelapan pajak, karena ini menyangkut
perusahaan publik, yang seharusnya semua laporan keuangannya terbuka.
Kalau benar ada penggelapan pajak, berarti ada yang disembunyikan dari
publik.
BAB II
SOLUSI
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh
perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi
masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang
paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran,
seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain.
Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang
memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi
kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah
transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini,
untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam
hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang
amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi
akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan
untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun
menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh
persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha
untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum,
kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah
laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap
perubahan-perubahan dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya
sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi
memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan
dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua
kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya
yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.
Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga
memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting lainnya adalah
distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik
adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan
berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi
memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi pendapatan dan
kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali
merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba
menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan rekomendasi
tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih
(voters).
BAB
III
KESIMPULAN
Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak
yang cukup besar pada sebuah perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya
walaupun perusahaan besar tetapi masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good
corporate governance terutama dalam hal menyampaikan berita yang akurat
serta prinsip responsibility berupa kurang dipatuhinya peraturan serta
ketentuan yang berlaku. Hal ini juga merupakan bukti bahwa kurangnya
pengawasan dari pihak-pihak yang terkait di pasar modal sehingga menyebabkan
kerugian negara yang cukup besar. Walaupun hanya sebatas dugaan, ini sudah
menjadi bukti awal bahwa dalam menjalankan bisnis itikad baik dalam menjalankan
bisnis tidak ada.
Upaya penegakan hukum yang adil dan
beribawa mutlak diperlukan dalam menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak
ini, karena nantinya public akan mengetahui bagaimana kisah yang sebenarnya
dari kasus ini dan public juga mengetahui bagaimana proses penegakan hukum
dibidang pasar modal itu sendiri. Penyelesaian kasus ini harus dijauhkan dari
ketegangan politik yang ada.Pasar modal merupakan salah satu sumber
pendanaan yang sangat penting dalam era globalisasi ini, dan oleh karena itu
harus dipupuk terus. Pasar modal harus menarik bagi emiten maupun investor.
Oleh karena itu, pemerintah, pengawas pasar modal, bursa, dan para pialang
mempunyai tugas masing-masing yang berkaitan guna menciptakan pasar modal yang
sehat, bersih, dan memiliki daya saing yang tinggi. Pasar modal yang demikian
akan menjadi sumber pencarian dana yang menarik bagi perusahaan. Pada saat yang
bersamaan menyediakan alternatif investasi yang menjanjikan bagi para investor.
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh
perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi
masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang
paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran,
seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain.
Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang
memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi
kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah
transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini,
untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam
hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang
amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi
akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Jadi, dalam kasus diatas, efisiensi menjadi
kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam
persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi
bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah
menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha.
tolong dong kirim daftar pustaka artikel ini ?
BalasHapusKIRIMIN DAFTAR PUSTAKA DONG
BalasHapusMaaf lupa, nanti saya cantumkan.
Hapus